IGMTVnews.com — Ribuan pasien COVID-19 tanpa gejala hingga bergejala ringan menjalani isolasi di Wisma Atlet, Jakarta.
Makanan apa yang mereka konsumsi sehari-hari?
Sejumlah pasien COVID-19 memberitahukan makanan yang mereka santap setiap harinya dalam gedung-gedung yang menjulang di Kemayoran, Jakarta Pusat, itu, Minggu (20/9/2020).
Christman Datubara (31) menghuni satu unit di Tower 5, lantai 9, flat isolasi di Wisma Atlet Kemayoran. Dia datang pada Senin (14/9) dan mulai masuk ke unit sejak Selasa (15/9) dini hari. Sehari-harinya dia mengonsumsi makanan yang diberikan oleh pihak Wisma Atlet.
Biasanya, perawat memberi tahu via grup WhatsApp bahwa makanan sudah siap diambil di koridor. Makanan dikemas dalam kotak kardus, alias nasi kotak. “Makanan pokok tiga kali sehari, plus satu snack sekitar jam 11.00 WIB,” kata Chris, panggilannya.
Menu makanan antara sarapan pagi, makan siang, hingga makan malam cenderung sama kualitasnya. Menu sarapan pagi bukan menu ringan, melainkan menu penuh bak makan siang atau makan malam. “Mantep sih ini,” kata dia.
Secara umum, menu makanan pagi, siang, dan malam terdiri atas seporsi nasi plus dua lauk, sayuran, dan buah. Barusan saja, dia menghabiskan seporsi nasi, dua jenis lauk berupa ayam dan ikan goreng, sayur, dan buah.
Sajian buah tak pernah ketinggalan, misalnya jeruk atau pisang. Pukul 11.00 WIB menjelang siang, para pasien diberi makanan ringan berisi kue kering, risol, dan susu kemasan kotak.
Malam harinya sama saja, hanya variasinya yang berbeda. Misalnya, dua lauk terdiri atas kombinasi ayam-ikan, ayam-fish roll, atau ikan-nugget. Sayurnya bisa berupa capcai, buncis, atau jenis olahan sayur lainnya. “Memang menunya ini nggak asal-asalan,” kata dia.
Hanya, sejauh ini dia tidak menemukan satu hal. “Dari pertama kali, nggak pernah ada sambal atau saus,” kata dia.
Arya Sandhiyudha, pejabat PMI DKI Jakarta, yang telah dinyatakan sembuh dari COVID19 mengaku jika dirinya menjalani hari-harinya di Tower 7 lantai 17 Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet dari 3 hingga 12 September. Soal makanan, dia bisa pesan sesuai pilihan yang dia ambil, yakni tanpa nasi.
“Saya pribadi tidak makan nasi, tidak makan gula, dan tidak makan karbohidrat. Petugas sangat aspiratif. Saya bilang saya tidak mau nasi, maka keesokan paginya sudah ada nama di kardusnya untuk saya, menandakan isinya tanpa nasi, itu bagus, masukan kita didengarkan,” kata Arya.
Ada lagi Juno (36), yang diisolasi di Tower 7 lantai 29 Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet, dari 17 April hingga 18 Mei lalu. Karyawan perusahaan asuransi ini menuturkan pasien bisa memesan makanan via ojek online (ojol). “Kita diperbolehkan pesan makanan lewat ojol. Nanti ojol bakal sampai di lobi mobil saja, kemudian makanan akan disampaikan ke lobi,” kata Juno.
Saat Juno menghuni Wisma Atlet kala itu, biasanya perawat berpakaian APD akan membawakan paket antaran yang dipesan pasien secara online. Jadi, pasien tidak turun sendiri ke lobi.
Arya Sandhiyudha juga tidak kesulitan memesan makanan via ojek online. Nantinya, pesanan bakal sampai di lobi. Dia tidak menunggu perawat atau petugas Wisma Atlet mengambilkan pesanan dari lobi ke lantai 17, melainkan memilih turun ke lobi dan mengambil sendiri pesanannya.
Untuk yang berkebutuhan khusus
Seorang ibu bernama Lia Octora (48) sempat menemani putrinya bernama Divalah Ranggajo (17). Diva berkebutuhan khusus, mengalami sindrom seckel. Keduanya menghuni Tower 7 lantai 28 RS Darurat COVID Wisma Atlet. Diva tidak makan nasi seperti menu yang biasa disajikan di wisma atlet.
“Makanan anak saya bubur tim, sedangkan yang disediakan di Wisma Atlet adalah nasi biasa,” kata Lia.
Ia menjelaskan, dia dulu sempat meminta kepada perawat di Wisma Atlet agar disuguhi bubur tim untuk putrinya. Sesekali, permintaan khusus ini digenapi oleh pihak Wisma Atlet, bubur tim benar-benar tersaji. Namun itu hanya sesekali, selebihnya Lia membuat bubur sendiri untuk anaknya.
“Tidak masalah lah. Saya sudah bersyukur atas pelayanan di Wisma Atlet. Dari rumah, saya bawa sendiri bubur instan dan di Wisma Atlet tinggal menyeduh,” kata Lia. (andhiko tungga alam/net)
Comment