PALEMBANG — Dalam perekonomian Indonesia, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menjadi kelompok usaha dengan jumlah paling besar, dan mampu bertahan dari berbagai goncangan krisis perekonomian. Berdasarkan data Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil, dan Menengah Republik Indonesia, pada tahun 2018 jumlah UMKM di Indonesia mencapai angka 64.199.606, yang mana jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 1.271.529 (2,02%), dari 62.928.007 pada tahun 2017 (depkop.go.id, 2018).
Jumlah tersebut mencakup 99,9% dari jumlah pelaku usaha yang ada di Indonesia, sehingga tidak heran jika pada dasarnya UMKM mampu menjadi penopang perekonomian Indonesia apabila dikelola dan dikembangkan. Bahkan Pemerintah Indonesia optimis ingin mencapai angka 10 juta UMKM pada akhir 2020, yang semakin menunjukkan betapa pentingnya sektor UMKM dalam perekonomian Indonesia.
Namun, fakta empirisnya walaupun UMKM dinilai penting untuk pertumbuhan perekonomian, sektor ini selalu kalah bersaing dengan pelaku usaha besar, baik dari segi modal, keuntungan, penguasaan pasar, teknologi, dan lain sebagainya. Ditambah lagi dengan sering terjadinya kecurangan, yang pada akhirnya menciptakan iklim usaha yang tidak sehat. Bentuk konkrit persaingan tidak sehat dapat kita lihat dalam berbagai kasus di Indonesia seperti, kasus PT. Tirta Investa dan PT. Balina Agung selaku produsen dan distributor AQUA pada tahun 2017, yang terbukti menghalangi pelaku usaha lain untuk menjual produknya (tempo.co, 2017).
Contoh lainnya ialah, kasus bid rigging yang dilakukan oleh Koperasi Pribumi Indonesia (KOPI) dengan Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dalam tender pengadaan Sapi Bakalan Kereman Impor pada tahun 2001 (Tarigan, 2016:62). Hal inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan, apa peran Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) sebagai suatu lembaga dalam menumbuhkan iklim usaha di Indonesia ?
Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, Iklim usaha secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya. Lalu, apa andil KPPU di dalamnya?
KPPU atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha, hadir sebagai suatu lembaga berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 75 Tahun 1999, sebagai mana tertuang pada pasal 2, bahwa tujuan pembentukan KPPU untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. KPPU berdiri secara independen dan berperan sebagai pengawas dalam hal persaingan usaha di Indonesia, terutama dibidang kemitraan.
Dalam upaya menciptakan suatu iklim usaha yang sehat dan kondusif, KPPU ikut andil melalui perannya sebagai pengawas. Untuk itu, KPPU sebagai lembaga pengawas perlu memperketat pengawasan, terutama dalam hal kemitraan antara pelaku usaha besar dengan UMKM, yang mana sektor ini sangat rentan terjadi praktek-praktek yang kurang sehat antar pelaku usaha. Peningkatan pengawasan ini sendiri harus dilakukan dalam berbagai bentuk, baik yang bersifat preventif maupun represif.
Dalam bentuk preventif, hal pertama yang KPPU dapat lakukan antara lain memberikan pendidikan dan pelatihan yang sistematis kepada calon ataupun pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, serta pelaku usaha besar. Selain dapat menambah pengetahuan masyarakat mengenai dunia usaha secara umum, cara ini juga dapat membantu pelaku UMKM untuk terhindar dari upaya monopoli ataupun kecurangan yang dilakukan oleh pihak pelaku usaha besar.
Edukasi juga diberikan kepada pelaku usaha makro, yang mana edukasi tersebut lebih bersifat administratif, seperti pakta integritas saat mengajukan perpanjangan perizinan atau saat waktu mengajukan perizinan, sebagai bentuk komitmen untuk mematuhi peraturan yang berlaku sehingga tetap menjaga persaingan usaha bersih dan bebas dari kecurangan.
Penulis menyarankan KPPU untuk memberikan pendidikan kepada semua golongan pelaku usaha hal ini dikarena secara empiris sebagian besar kecurangan dilakukan oleh pelaku usaha besar, sebagai bentuk upaya untuk memonopoli pasar ataupun untuk alasan lainnya, namun penulis melihat bahwa dengan adanya edukasi, pemahaman, serta kesadaran dari kedua belah pihak, maka kemungkinan terjadinya kecurangan akan semakin berkurang. Cara berikutnya, KPPU dapat meningkatkan standar penilaian, guna meningkatkan kualitas kegiatan kemitraan yang akan dilaksanakan antara UMKM dan pelaku usaha besar secara keseluruhan.
Terakhir, KPPU dapat memanfaatkan perkembangan teknologi, seperti memaksimalkan fungsi website khusus pengaduan ataupun aplikasi khusus yang terhubungan langsung dengan KPPU, untuk mempermudah proses pengaduan masyarakat terhadap tindak kecurangan sehingga mempercepat proses penanganannya. Selain hal-hal diatas, diperlukan sinergitas antara KPPU bersama Kementrian terkait, Pemerintah Daerah, serta lembaga-lembaga pengawas independen, sehingga menciptakan pengawasan preventif yang efektif.
Dalam bentuk represif, KPPU dapat meningkatkan sanksi administratif yang diberikan kepada pihak yang melakukan pelanggaran untuk memberikan efek jera, berupa penambahan nominal denda, hingga pencabutan izin usaha ataupun saham. Dengan adanya peningkatan pengawasan tersebut, KPPU dapat membantu memenuhi aspek perlindungan dalam upaya menciptakan iklim usaha yang sehat.
Penulis melihat bahwa selain meningkatkan pengawasan, KPPU juga perlu membangun hubungan yang sinergis dan intens dengan kedua belah pihak untuk menjamin ter-implementasinya pengawasan secara keseluruhan, serta akan membentuk suatu pemahaman tentang pentingnya iklim usaha yang sehat dan kondusif. Memang tidaklah mudah untuk menumbuhkan suatu iklim usaha yang sehat, diperlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat yang dalam konteks ini adalah pelaku usaha.
KPPU perlu hadir menjadi jembatan dalam menciptakan suatu iklim ekonomi yang sehat serta kondusif, tidak hanya melalui perannya sebagai pengawas, namun juga melalui relasinya terhadap pelaku sektor usaha. Dengan terciptanya suatu iklim usaha yang sehat dan kondusif akan memberikan dampak positif yang signifikan, baik secara makro maupun mikro.
Secara makro, iklim usaha yang sehat dan kondusif dapat mendorong masyarakat untuk memulai investasi-investasi baru, yang kemudian akan berdampak pada peningkatan dan perkembangan ekonomi nasional, sedangkan secara mikro hal ini akan menguntungkan pihak suplier atau produsen, seperti petani, nelayan, ataupun suplier lokal lainnya, yang kemudian akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. (*)
Penulis :
M. Alief Akhbar P.A.G
Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan FIPB Universitas Indo Global Mandiri
Comment