IGMTVnews.com —– Gerakan Efisiensi yang digaungkan Presiden Prabowo, dengan Slogan Pemerintahan Bersih yang berpihak kepada kepentingan rakyat, harusnya kita sambut dengan memberikan dukungan yang gegap gempita, agar Gerakan itu menjadi GERAKAN NASIONAL dan menjadi pola pikir, bagi setiap Penyelenggara Negara.
Namun sayangnya, ide cerdas tersebut justru dipelintir dan dibelokkan seolah kebijakan yang diambil Presiden hanya untuk sekedar menyelamatkan janji Presiden, memberikan Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Pemeriksaan Kesehatan kepada seluruh Rakyat Indonesia, dipersepsikan sebagai kebijakan populis hanya untuk mendapatkan dukungan rakyat.
Mereka yang antipati tersebut, adalah mereka yang selama ini nyaman dengan kondisi rakyat yang bodoh dan miskin, dan mereka yang selama ini nyaman dengan perilaku korup sebagai pejabat penyelenggara negara ataupun mereka berperilaku sebagai oligarki hitam.
Tulisan singkat ini, didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman panjang sebagai birokrat, akademisi, politisi dan pengusaha, untuk memberikan nuansa pemahaman yang berbeda dari berita-berita viral yang menyesatkan masyarakat umum, sehingga menghadirkan demo anak- anak kita, yang seharusnya bersyukur dengan apa yang dilakukan oleh Pemerintahan Prabowo.
1. Kita semua paham, mengerti dan merasakan bahwa hampir semua proyek-proyek APBN/D di mark- up sampai 20%, ada yang lebih dan ada yang kurang dari prosentasi itu. Gerakan efisiensi Presiden Prabowo dengan slogan Pemerintahan yang bersih, adalah menghilangkan mark- up, mengembalikan nilai proyek pada harga yang sesungguhnya.
Sudah menjadi rahasia umum, untuk mendapatkan pekerjaan, seorang pengusaha sudah harus menyetor 15% kepada pemilik proyek; 5% untuk pimpro; dan 5% untuk kepentingan lainnya, yaitu panitia tender, pengawas lapangan dan pemeriksa eksternal. Justru ada yang mengawalnya dari Jakarta, agar proyek tersebut bisa dialokasikan ke daerah tertentu, yang nilainya 5% sampai dengan 10%. Artinya patut diduga 30% akan hilang dalam perjalanan, diambil 10% keuntungan Pemborong, PPN 10% dan PPh 2% artinya nilai yang terbangun tidak sampai 50% dari Nilai Pagu di APBN / APBD. Tapi sekali lagi ini tergantung apakah itu proyek aspirasi atau murni proyek daerah.
2. Gerakan Efisiensi kedua adalah mengkaji ulang proyek-proyek yang memang tidak diperlukan. Kita tahu ada proyek yang dibangun tidak dimanfaatkan sama sekali. Contoh Pembangunan Pusat Perdagangan Ikan, salah lokasi, akhir hanya diisi oleh beberapa pedagang ikan hias; Pembangunan stasiun Kereta Api, padahal belum ada relnya; Pembangunan gedung diklat, sampai roboh hanya digunakan untuk sewa pernikahan. Pembangunan LRT untuk Asean Games, tidak termanfaatkan sama sekali, akhirnya PTKAI harus menanggung rugi operasional bulanan. Saat ini hanya digunakan oleh masyarakat untuk wisata dalam kota, yang incomenya sangat tidak memadai.
3 Gerakan efisiensi yang ketiga, adalah dengan mengurangi atau menghilangkan kegiatan-kegiatan yang tidak perlu, yang diyakini merupakan pemborosan APBN/APBD. Seperti yang dimaksud presiden dengan FGD, jalan-jalan ke luar negeri, bimtek, rapat-rapat di hotel-hotel, pembelian alat tulis kantor yang Sering kita saksikan menjelang akhir tahun berbagai kegiatan seminar / rapat / FGD yang memenuhi hotel-hotel hanya untuk menghabiskan anggaran. Alasan klasik adalah “kalau anggaran tidak habis, tahun depan anggaran akan dikurangi”.
Menurut hemat kami Penilaian Kinerja Kementerian/ Lembaga yang diukur dari habisnya anggaran, merupakan penilaian yang sesat. Sudah berkali saya sampaikan kepada pemerintah, agar penilaian berbasiskan program dan penghematan anggaran, bukan berbasiskan proyek, akibatnya ditemukan proyek-proyek fiktif hanya sekedar untuk menghabiskan anggaran.
4. Gerakan efisiensi yang berikutnya adalah konservasi energi, yaitu penghematan pemakaian energi, baik dengan memperbaiki cara penggunaan atau dengan menggunakan peralatan yang hemat Seperti mengatur pemakaian listrik, agar pengunaannya tidak berlebihan, mematikan lampu pada siang hari, atau pada saat tutup kantor, mematikan ac pada saat tidak lagi digunakan. Semuanya bisa dilakukan tanpa effort yang besar. Atau dengan menggunakan energi terbarukan, yaitu solar cell. Banyak cara untuk untuk melakukan konservasi energi, tapi program yang baik ini yang digaungkan sejak tahun 80-an, timbul tenggelam, karena Pemerintah sebagai pemilik otoritas tidak konsisten melaksanakan kebijakan tersebut secara berkelanjutan.
Program efisiensi ini adalah hal biasa dilakukan di korporasi, karena dengan melakukan itu, perusahaan bisa bersaing di era persaingan yang semakin ketat.
Namun sayangnya gerakan yang luar biasa cerdasnya diplesetkan, seolah menghilangkan proyek2 strategis, memotong dana pendidikan, dana kesehatan, sehingga menimbulkan kegaduhan. Dilalanya mereka yang antipati karena terganggunya kepentingan mereka, ditunggangi oleh kepentingan politik yang memang menginginkan rakyat dan Bangsa Indonesia tetap bodoh dan tetap dalam kendali oligarki hitam dan asing.
Kebijakan Efisiensi Presiden Prabowo akan semakin lengkap apabila Presiden sekaligus meluruskan penggunaan anggaran yang tidak pada tempatnya, melanggar konstitusi antara lain dana pendidikan untuk perguruan tinggi/sekolah kedinasan.
RDP tanggal 19 Pebruari 2025, antara beberapa Asosisi Pendidikan dengan Komisi X, juga dibahas adanya penggunaan dana pendidikan 20% dari APBN yang dialokasikan ke Perguruan Tinggi/Sekolah kedinasan Kementerian/ Lembaga di luar Kementerian Pendidikan. Dan ini jelas melanggar amanat Konstitusi yang sudah di judicial review dan diputuskan oleh MK, bahwa dana yang digunakan oleh sekolah yang dibangun oleh Kementerian / Lembaga diluar Diknas, tidak termasuk kuota 20% dana Pendidikan. Dilalanya pendirian sekolah kedinasan ini seperti Jamur tumbuh di waktu hujan, dan ini diluar tusi mereka, menjadi tempat penampungan Birokrat yang menjelang pensiun atau mereka yang tidak termanfaatkan, yang tidak punya visi dan pemahaman tentang pendidikan.
Sekolah kedinasan dimungkinkan khususnya untuk bidang-bidang yang tidak diselenggarakan oleh PTN dan PTS. Sekolah Kedinasan harusnya non Gelar, untuk menambah keahlian bukan hanya untuk memperpanjang Gelar Kesarjanaan. Untuk diketahui, dana operasional per mahasiswa sekolah Kedinasan jauh lebih tinggi dari biaya yang dialokasikan untuk PTN.
Dampak yang nyata :
Status dosen sebagai asn di kementerian/ Lembaga non Diknas yang mendapatkan TUKIN, dan status mereka yang merangkap sebagai dosen mendapatkan Tunjangan Serdos, yang membuat dosen di bawah Kementerian Pendidikan meminta juga untuk dibayarkan TUKIN, dengan argumentasi demi keadilan.
Menurut pendapat kami, seharusnya mereka yang dosen asn di kementerian/Lembaga non Diknas yang mendapatkan serdos, tidak lagi menerima TUKIN, atau ditetapkan salah satu yang paling tinggi. Tidak seharusnya Pemerintah memenuhi Tuntutan TUKIN dari Dosen ASN Diknas.
Tukin adalah tunjangan kinerja kepada kementerian /Lembaga yang telah melakukan reformasi birokrasi. Sedang Serdos diberikan kepada dosen untuk kinerjanya sebagai dosen yang melaksanakan tridarma. Dua hal yang berbeda dengan status yang berbeda, namun memiliki makna tujuan yang sama. Kasus yang sama, seseorang sebagai Guru mendapat Tunjangan Profesi Guru, tapi juga merangkap sebagai Dosen yang menerima Tunjangan SERDOS, ini karena kelemahan system, sehingga tidak terpantau yang merangkap jabatan tersebut.
Kalau pemerintah memenuhi tuntutan dosen ASN dikti utk membayarkan Tukin, artinya telah memberikan tunjangan ganda dengan tujuan yang sama, Kinerja sebagai Birokrat, dan Kinerja sebagai Dosen. Siapapun yang menerimanya bisa dikategorikan melakukan tindakan KORUPSI.
Meluruskan penggunaan anggaran yang tidak pada tempatnya bisa dilakukan untuk Gerakan Efisiensi Episode Kedua. Semoga Gerakan efisiensi Episode pertama bisa mencapai sasaran, untuk itu Pemerintah harus kuat melawan Gerakan-gerakan untuk perubahan menuju Indonesia Emas.
Kebenaran hanya pada Allah, Kesalahan pada Penulis
Penulis : Rektor UIGM / Ketua Pembina Aptisi / Mantan Ketua DPR-RI / Mantan Dir BUMN / Mantan PNS Departemen Keuangan.
Comment