IGMTVnews.com, PALEMBANG — Akhir-akhir ini marak bermunculan kasus penipuan berkedok Multi Level Marketing atau sejenisnya. Hal ini terjadi karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman masyarakat terhadap masalah tersebut. Multi Level Marketing atau disingkat MLM adalah konsep pemasaran dengan sistem network marketing (pemasaran dengan sistem jaringan).
Secara umum MLM merupakan rangkaian 3 (tiga) kata yang mempunyai kesatuan arti dan pengertian, dari kata “multi†artinya “banyakâ€ÂÂ, “level†sama dengan “berjenjang†atau “tingkatâ€ÂÂ, sedangkan marketing sama dengan “pemasaranâ€ÂÂ. Jadi Multi Level Marketing adalah pemasaran yang (banyak) berjenjang atau pemasaran yang dilakukan melalui banyak level, tingkatan atau jaringan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah).
Sebagai bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. MLM tidak mungkin akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa potongan harga, bonus pembelian langsung, bonus jaringan –istilah lainnya komisi kepemimpinan.
Selain itu, Kekuatan jaringan Multi Level Marketing bukan terletak pada banyaknya anggota, tetapi lebih pada motivasi down line dalam menjual atau mengkonsumsikan produk; di sini diperlukan program-program pelatihan untuk para penjual atau anggota. Para anggota dapat bekerja secara informal, paruh waktu tetapi mereka dibayar penuh (Part time but full paid job). Lagi pula semua penjualan dilakukan secara tunai.
Menurut Sofyan S. Harahap (2011) bonus jaringan adalah bonus atau komisi kepemimpinan diberikan karena faktor jasa tiap-tiap member dalam membangun formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan karena telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meskipun perusahaan tidak menyebut secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran). Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini tidak lepas dari dua posisi sekaligus, sebagai pembeli langsung dan makelar.
Seseorang disebut pembeli langsung ketika menjadi member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik pada perusahaan maupun distributor atau pusat stok. Disebut sebagai makelar, karena dia telah menjadi perantara – melalui pengrekrutan yang telah dia lakukan – bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktik yang terjadi dalam bisnis MLM.
Sejak masuk ke Indonesia tahun 1995 bisnis penjualan langsung (direct selling) MLM, terus marak dan menjamur, serta bertambah merebak lagi setelah adanya badai krisis moneter dan ekonomi. Pemain yang terjun di dunia MLM yang memanfaatkan momentum dan situasi krisis untuk menawarkan solusi bisnis pemain asing maupun lokal. Hal inilah kemudian memunculkan banyak perdebatan di antara kalangan umat Islam di Indonesia, termasuk para praktisi ekonomi juga banyak membahas masalah tersebut.
Pandangan Islam
Menurut Setiawan Budi Utomo (2003) BisnisMLM dalam kajian Islam dapat ditinjau dari dua aspek; produk barang atau jasa yang dijual dan cara ataupun sistem penjualan (selling/marketing). Mengenai produk barang yang dijual, apakah halal atau haram tergantung kandungannya, apakah terdapat sesuatu yang diharamkan Allah menurut kesepakatan (Ijma’) ulama atau tidak. Begitu pula jasa yang dijual, apakah mengandung unsur babi, khamr, bangkai, darah, perzinaan, kemaksiatan, dan perjudian.
Di lihat dari perspektif di atas, kontroversi MLM terlihat pada program Piramida dalam sistem pemasaran, dimana setiap anggota harus mencari anggota-anggota baru dan demikian seterusnya. Setiap anggota membayar uang pada perusahaan dengan jumlah tertentu dengan iming-iming dapat bonus, semakin banyak anggota dan semakin banyak memasarkan produknya maka akan semakin banyak bonus yang dijanjikan. Ini berarti bahwa kebanyakan anggota MLM ikut bergabung dengan perusahaan tersebut adalah karena adanya iming-iming bonus, dengan harapan agar cepat kaya dengan waktu yang sesingkat mungkin dan bukan karena membutuhkan produknya.
M. Munir Chaudry Presiden The Islamic Food and Nutrition of America (IFANCA) menyatakan bahwa umat Islam harus meneliti terlebih dahulu kehalalan suatu bisnis MLM sebelum bergabung atau menggunakannya. Lebih lanjut ia menyatakan sebaiknya umat Islam terlebih dahulu mengkaji aspek-aspek berikut ini;
Pertama, Marketing plan-nya, apakah ada unsur skema piramida atau tidak. Kalau ada unsur piramida yaitu distributor yang lebih dulu masuk selalu diuntungkan dengan mengurangi hak distributor belakangan sehingga merugikan down line di bawahnya, maka hukumnya adalah haram.
Kedua, Perusahaan MLMnya memiliki track record positif dan baik atau sebaliknya misterius dan banyak mengandung kontraversial.
Ketiga, Produk-produknya mengandung zat-zat haram ataukah tidak dan miliki jaminan dikembalikan jika terdapat kerusakan atau tidak.
Keempat, Apabila perusahaan lebih menekankan aspek targeting penghimpunan dana dan menganggap bahwa produk tidak penting atau hanya sebagai kedok, dan uang pendaftarannya cukup besar nilainya, maka harus dicurigai sebagai arisan berantai (money game) yang menyerupai judi.
Kelima, Perusahaan MLM menjanjikan kaya mendadak tanpa bekerja atau tidak demikian.
Selain aspek-aspek di atas perlu diperhatikan pula hal-hal berikut ini; (a). Transparansi penjualan dan pembagian bonus serta komisi penjualan, pembukuan yang menyangkut perpajakan dan perkembangan netwoking atau jaringan dan level, melalui laporan otomatis secara periodik. (b).   Penegasan motif atau tujuan bisnis MLM sebagai sarana penjualan langsung produk barang ataupun jasa yang bermanfaat atau bukan permainan uang. (c). Meyakinkan kehalalan produk yang menjadi objek transaksi riil (underlying transaction) dan tidak mendorong kepada kehidupan boros, hedonis, dan membahayakan eksistensi produk muslim maupun lokal. (d). Tidak adanya excesive mark up (ghubn fakhisy) atas harga produk yang diperjualbelikan di atas covering  biaya promosi dan marketing konvensional. (f). Harga barang dan bonus (komisi) penjualan diketahui secara jelas sejak awal dan dipastikan kebenarannya saat transaksi. (g).  Tidak adanya eksploitasi pada jenjang mana pun antar distributor ataupun antar produsen dan distributor, terutama dalam pembagian bonus yang merupakan cerminan hasil usaha masing-masing anggota.
Sedangkan menurut Syaikh Abu Usamah Salim bin Led al-Halail Multi Level Marketing merupakan bisnis perjudian murni, karena ada beberapa sebab yaitu;
(1). Sebenarnya anggota MLM ini tidak menginginkan produknya, akan tetapi tujuan utama mereka adalah penghasilan dan kekayaan yang banyak lagi cepat dan akan diperoleh setiap anggota dengan cara membayar sedikit uang.
(2). Harga produk yang dibeli sebenarnya tidak sampai 30 % dari uang yang dibayarkan perusahaan MLM.
(3). Bahwa produk ini biasa dipindahkan oleh semua orang dengan biaya yang sangat ringan, dengan cara mengakses dari situs perusahaan MLM ini di jaringan internet.
(4). Bahwa perusahaan meminta para anggotanya untuk memperbaharui keanggotaannya setiap tahun dengan iming-iming berbagai program baru yang akan diberikan kepada mereka.
(5). Tujuan perusahaan adalah membangun jaringan personal secara estafet dan berkesinambungan. Sehingga sangat menguntungkan anggota yang berada pada level atas (up line) sementara level bawah (down line) selalu memberikan nilai point pada yang berada di level atas mereka.
Berdasarkan keterangan di atas, maka sistem bisnis semacam ini tidak diragukan lagi keharamannya, karena beberapa sebab yaitu;
a). Ini adalah penipuan dan manipulasi terhadap anggota.
b). Produk MLM ini bukanlah tujuan yang sebenarnya. Produk ini hanya bertujuan untuk mendapatkan izin dalam undang-undang dan hukum syar’i.
c). Banyak dari kalangan pakar ekonomi dunia sampai orang-orang non muslim menyakini bahwa jaringan piramida ini adalah sebuah permainan dan penipuan. Oleh karenanya, mereka melarangnya karena bisa membahayakan perekonomian nasional baik bagi kalangan individu maupun masyarakat umum.
Lebih dari itu, bisnis ini juga memancing orang-orang yang sedang bermimpi di siang bolong menjadi jutawan. Bisnis ini adalah memakan harta manusia dengan cara bathil, spekulasi, dan bentuk perjudian. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2] ayat 275: “Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Demikian juga firman-Nya dalam surat an-Nisa’ [4] ayat 29 : â€ÂÂHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.â€ÂÂ
Lajnah Daimah Saudi Arabia dan lembaga Fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islamy Sudan telah mengeluarkan fatwanya bahwa transaksi dengan sistem MLM mengandung riba fadhl, karena anggotanya membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar darinya, seakan-akan ia menukar uang dengan uang dengan jumlah yang berbeda. Inilah yang disebut riba fadhl (ada selisih nilai).
Senada dengan pendapat di atas, menurut Setiawan Budi Utomo (2003: 103) perusahaan yang menjalankan bisnisnya dengan sistem MLM tidak hanya menjalankan penjualan produk barang, tetapi juga produk jasa, yaitu jasa marketing fee, bonus, dan sebagainya tergantung level, prestasi penjualan dan status keanggotaan distributor.
Jasa perantara penjualan ini (makelar) dalam terminologi fiqh disebut â€ÂÂsamsarah/ simsariâ€ÂÂ, yakni perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli) atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Sebagai samsarah/simsari fiqh Islam juga memberikan aturan yang jelas untuk tidak melakukan khabalah (pemasaran yang menyesatkan) seperti merayu-rayu klien yang polos dan kurang hati-hati dengan melebih-lebihkan mutu komoditi. Hal ini dilarang karena tidak etis; seseorang menampilkan produknya dengan cara tertentu, sementara kenyataannya tidak begitu. Oleh sebab itu, pemasaran manipulatif dan berlebihan, serta tak sesuai dengan fakta dagangannya adalah dilarang. Selain itu, sebagai samsarah/simsari juga tidak diperbolehkan menjalankan praktek usahanya secara berlebih-lebihan (israf), dan tabzir (sia-sia) karena semua itu jelas bertentangan dengan Islam.
Setiawan Budi Utomo (2003) menambahkan bahwa distributor dan perusahaan benar-benar harus jujur, ikhlas, transparan, tidak menipu, dan tidak menjalankan bisnis yang haram dan syubhat (yang tidak jelas halal/haramnya). Distributor dalam hal ini berhak menerima imbalan setelah berhasil memenuhi akadnya, sedangkan pihak perusahaan yang menggunakan jasa marketing harus segera memberikan imbalan kepada para distibutor dan tidak boleh menghanguskan atau menghilangkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-A’raf [7] ayat 85 : â€ÂÂMaka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman“.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa bisnis dengan sistem MLM bermasalah dan hukumnya adalah haram. Maka sudah selayaknya segenap pemangku kebijakan dan pemuka agama senantiasa memberikan pembinaan dan penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat, agar kasus penipuan dengan kedok Multi Level Marketing tidak terulang kembali dan kepada masyarakat untuk senantiasa berhati-hati dan waspada dengan setiap ajakan dan rayuan dari bisnis-bisnis berkedok MLM yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam karena di dalam bisnis tersebut mengandung unsur riba (bunga), dzulm (merugikan hak orang lain), gharar (tipuan), dharar (bahaya), dan jahalah (ketidakjelasan) serta mendzalimi pihak-pihak yang berada di level bawah (down line) dan menguntungkan pihak yang ada di level atas (up line). Wallahu a’lam bis-shawab. (*)
Havis Aravik
*Penulis adalah Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Bisnis Syariah (STEBIS) Indo Global Mandiri (IGM)
Comment