IGMTVnews.com, PALEMBANG —- Nurul tak mampu menyembunyikan decak kagumnya. Dara manis ini memang kali pertama mengijakkan kaki di tempat ini.
Sepi adalah kesan pertama yang dirasakan dara manis yang masih duduk di bangku SMA di Palembang ini. Ia ditugaskan oleh gurunya untuk menceritakan kembali bagaimana kejayaan zaman pra-sejarah, zaman Kerajaan Sriwijaya, zaman Kesultanan Palembang, hingga ke zaman Kolonialisme Belanda.
“Kau harus berkunjung ke Museum Negeri Sumatera Selatan. Lebih dikenal dengan sebutan Museum Bala Putra Dewa” kata saudaranya sehari sebelumnya.
Ternyata benar. Tak sulit menemukan lokasi Museum Balaputera Dewa yang berada di Jalan Srijaya I No 28, Palembang ini, yang telah dicarinya melalui laman aplikasi google di layar gawainya. Senyum pun terkembang dari bibir Nurul tatkala dirinya disapa oleh salah seorang resepsionis Museum yang diketahui bernama Zaidan.S.Sos.
“Mari, silahkan isi buku tamu terlebih dahulu,” katanya. Pria paruh baya ini berdiri di antara ukiran-ukiran lemari Palembang, tepat di balik meja kerjanya.
Setelah Nurul pun merogoh koceknya untuk membayar retribusi yang telah ditetapkan. Cukup murah. Hanya dengan membayar Rp2.000 untuk orang dewasa dan Rp1.000 untuk anak-anak, sudah bisa menikmati kekayaan sejarah yang tersimpan di dalam museum.
Karena merasa ingin menikmati suasana sejarah, ia pun memilih untuk tidak ditemani oleh pemandu museum, meski sebelumnya Zaidan telah menawarkan diri.
Sembari memasuki selasar Museum, Nurul lantas mengeluarkan kamera dan buku catatan, untuk mencari kebutuhkan tugasnya. Jejeran koleksi arca yang berasal dari zaman megalith Sumatera Selatan pun menyambut kedatangannya. Sebut saja, arca megalith ibu menggendong anak, arca orang menunggang kerbau, hingga arca manusia dililit ular.
Ruangan pamer utama, begitu tertulis disana menyimpan berbagai macam koleksi – koleksi museum yang dipastikan menyimpan histori yang tidak ternilai. Tak ada satupun ruangan yang terlewati oleh Nurul. Ruang pamer kerajaan Melaka, Kerajaan Sriwijaya di Nusantara, Zaman Kesultanan Palembang semuanya dicatat dengan oleh Nurul.
Sebelum ia pulang, matanya tertuju pada sebuah bangunan unik yang familiar baginya. Tak butuh waktu lama untuk ia menyadari bentuk bangunan itu. Rumah Limas yang sempat diabadikan dalam lembar uang kertas Rp10.000 oleh Bank Indonesia.
Antusias Nurul kembali terlihat saat ini melihat langsung dan merasakan kemegahan bangunan tradisional berbentuk limas yang dibuat dengan gaya panggung tersebut. Rumah Limas memiliki banyak filosofis yang mendalam. Ada lima tingkat yang mempunyai makna dan fungsi berbeda-beda dan diatur menggunakan filosofi Kekijing, mulai dari usia, jenis kelamin, pangkat, bakat, dan martabat. Begitu yang tertulis dalam layar gawai miliknya. Senyumannya pun kembali terukir saat ia mengambil gambar uang kertas Rp10.000 yang disandingkan dengan rumah limas yang berada di depannya dalam bingkai kamera.
Di usianya yang masih remaja, kedatangan Nurul ke Museum Negeri Sumatera Selatan merupakan sesuatu hal yang tidak biasa. Di saat remaja lain lebih memilih asyik dalam layar gawainya, ia justru tertarik untuk mempelajari sejarah masa lampau, meski pun itu diminta oleh Sekolahnya.
“Pandemi COVID-19 ini sangat berdampak sekali terhadap jumlah kunjungan. Biasanya, pengunjung itu didominasi oleh siswa sekolah dalam jumlah besar. Tapi anda bisa lihat sendiri bagaimana kondisinya sekarang,” kata Zaidan saat ditemui penulis beberapa waktu lalu.
Meski kuantitas pengunjung belum kembali normal, setidaknya pengelola Museum Negeri Sumatera Selatan menjamin pemeliharaan dan keamanan terhadap barang barang bersejarah yang tersimpan. Ini terlihat dari bersihnya ruang pamer serta pengawasan dengan menempatkan pengawas jika ada pengunjung yang masuk dalam ruang pamer.
“Tentunya kita tidak ingin kecolongan. Mengingat sempat pernah terjadi kehilangan beberapa tahun lalu. Saat itu memang kondisi museum tengah ramai dan ada kegiatan yang melibatkan orang banyak,” ujar Pelaksana Harian Kepala Seksi Koleksi dan Konservasi, Museum Negeri Sumatera Selatan Warsita, yang tanpa menyebut secara rinci benda tersebut.
Pun dengan kondisi pandemi yang belum juga berakhir seperti ini, ia mengaku jika jumlah koleksi di Museum terus bertambah. Salah satunya dengan banyaknya kolektor ataupun masyarakat yang menghibahkan koleksinya untuk diberikan dan disimpan di museum ini. “Ada berbagai macam cara untuk menambah koleksi, mulai dari ganti rugi, hibah, temuan ataupun jemput bola ke daerah daerah. Ini kita lebih proaktif,” paparnya.
Keresahan pengelola museum terhadap minat pengunjung pun dinilai wajar oleh sejumlah kalangan. Arsitek Universitas Indo Global Mandiri, Anta Astika menilai jika, kondisi bangunan Museum Negeri Sumatera Selatan sudah selayaknya untuk direnovasi. Bahkan tidak hanya bangunan, melainkan lingkungan serta atmosfernya.
“Bentuk bangunan sangat berpengaruh untuk menjadi magnet masyarakat Indonesia untuk berkunjung. Jadi sangat berpengaruh. Masyarakat sudah tahu, jika museum merupakan tempat menyimpan benda benda bersejarah masa lampau. Museum ini merupakan bangunan komersil. Tentunya, penting untuk dilakukan perubahan (renovasi),” tegasnya.
Menurutnya, Museum merupakan salah satu wadah edukasi kultural sejarah yang tidak dimiliki oleh bangunan lain. Artinya, perlu diberlakukan secara khusus. Meskipun ada beberapa koleksi yang mungkin hanya duplikat, setidaknya, nuansa museum tersebut harus benar benar merefleksikan benda benda yang tersimpan disana.
“Museum harus diperlakukan secara khusus. Perhatian pemerintah sangat dibutuhkan agar keberlangsung museum sebagai sarana edukasi dan informasi kian berkembang. Orang bisa saja mengakses informasi lewat gawai mereka, tapi dengan datang langsung ke museum, feel-nya akan benar benar terasa. Kita seolah olah diajak dan berada di zaman benda itu ada. Suasana seperti ini yang sebaiknya dihidupkan kembali,” pungkasnya. (andhiko tungga alam)
Comment