by

Ruang Kata : Islam Agama Entrepreneurship

Indonesia tergolong negara yang belum banyak memiliki entrepreneur handal yang bergerak di berbagai bidang. Padahal dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, wirausaha adalah profesi yang sangat menjanjikan. Hal ini terjadi karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih memiliki persepsi dan anggapan bahwa setiap output dari lembaga pendidikan sudah pasti menjadi pekerja baik berupa karyawan, administrator maupun pekerja.

Oleh karenanya, dalam pandangan mereka bahwa pekerja (khususnya pegawai negeri) jauh lebih menjanjikan karena memiliki status sosial tinggi dan sangat disegani oleh masyarakat daripada berwirausaha.

Kondisi Indonesia

Melihat kondisi objektif yang ada, persepsi dan orientasi dari masyarakat yang harus diubah karena sudah tidak lagi sesuai dengan perubahan maupun tuntutan kehidupan yang berkembang sedemikian kompetitif. Pola pikir dan orientasi hidup kepada pengembangan kewirausahaan merupakan suatu yang mutlak untuk mulai di bangun dan diberdayakan.

Menurut Ibn. Khaldun, wirausahawan merupakan individu berpengetahuan dan berperan penting dalam pembangunan sebuah negara-kota dimana sebuah usaha (perusahaan) akan lahir. Jadi dapat dipahami bahwa sebuah kota atau negara tidak akan dapat bersaing dalam pembangunan peradaban jika manusia-manusia di dalamnya, tidak memiliki para wirausahawan.

Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait konsep kewirausahaan (entrepreneurship) ini, namun ada keterkaitan yang sangat erat antara agama Islam dengan dunia kewirausahaan. Bahkan menurut Ibn Taimiyyah kewirausahaan bagian integral dalam agama Islam.

Karena berdasarkan fitrahnya, setiap manusia dituntut untuk menjadi “khalifah” dimana memiliki tanggungjawab untuk membangun kesejahteraan dan memandang bisnis sebagai bagian dari ibadah kepada Allah.

Adapun keterkaitan yang sangat erat antara agama Islam dengan dunia kewirausahaan (entrepreneurship) adalah sebagai berikut :

Pertama, dalam Islam digunakan berbagai istilah yang merujuk pada dunia kewirausahaan seperti kerja keras, kemandirian (biyadihi), dan tidak cengeng. Berwirausaha sangat dianjurkan dalam Islam agar manusia dapat mandiri dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya dan membantu orang lain secara ekonomi baik melalui sedekah, infak maupun zakat.

Setidaknya terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun hadis yang dapat menjadi rujukan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini seperti : “Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya, kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105).

“Apabila selesai shalat, maka hendaklah kamu bertebaran di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan sebutlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu memperoleh kebahagiaan.” (QS. Al-Jumu’ah: 10).

Dalam hadis Nabi SAW bersabda: “Sekiranya salah seorang di antara kamu membawa tali kemudian pergi ke bukit mencari kayu, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, yang dengan itu ia dapat menutup air mukanya, maka yang demikian lebih baik daripada minta-minta kepada orang, baik mereka memberi maupun menolak.” (HR. Bukhari).

“Mukmin yang kuat lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah, sekalipun masing-masing ada kebaikan. Berkeinginan keraslah kepada sesuatu yang memberimu manfaat dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan bersikap lemah.(HR. Muslim).

Kedua, Nabi Muhammad sebagai pembawa agama Islam merupakan seorang pemimpin di bidang bisnis dan entrepreneurship. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan seorang entrepreneurship sejati. Muhammad SAW telah merintis karir dagangnya ketika berumur 12 tahun dan mulai usahanya sendiri ketika berumur 17 tahun.

Pekerjaan ini terus dilakukan sampai menjelang beliau menerima wahyu (beliau berusia sekitar 37 tahun). Dengan demikian, Muhammad SAW telah berprofesi sebagai pedagang selama ± 25 tahun ketika beliau menerima wahyu. Angka ini sedikit lebih lama dari masa kerasulan beliau yang berlangsung selama ± 23 tahun.

Dalam melaksanakan bisnisnya tersebut, beliau memperkaya diri dengan kejujuran, keteguhan memegang janji, dan sifat-sifat mulia lainnya. Akibatnya, penduduk Makkah mengenal Muhammad SAW sebagai seorang yang terpercaya (al-amien).

Para pemilik modal di Makkah waktu itu semakin banyak yang membuka peluang kemitraan dengan Muhammad SAW. Salah seorang pemilik modal tersebut adalah Khadijah yang menawarkan kemitraan berdasarkan mudharabah (bagi hasil). Dalam hal ini, Khadijah bertindak sebagai pemodal (shahibul mal), sementara Muhammad SAW sebagai pengelola (mudharib). Bahkan jiwa entrepreneurship sudah dipupuk oleh Nabi Muhammad sejak kecil di mana beliau telah membantu ekonomi keluarga sang paman (Abi Thalib) dengan bekerja “serabutan” kepada penduduk Makkah seperti menggembalakan ternak. Pengalaman masa kecil seperti ini lah yang menjadi modal psikologis beliau ketika menjadi seorang wirausahawan di kemudian hari.

Nabi Muhammad SAW merupakan contoh nyata entrepreneurship (pebisnis) yang bisa sukses tanpa modal dan uang, dimana hanya bertumpuh pada kompetensi dan kepercayaan (trust). Semangat Islam dalam memotivasi umatnya agar dapat hidup dan berjiwa entrepreneurship terlihat jelas pada salah satu sabdanya; “Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki.”

Ketiga, para sahabat Nabi, dan mujtahid besar mayoritas merupakan wirausahawan handal yang mendunia seperti Abu Bakar, Saad bin Abi Waqqash, Ubaidlllah bin Jarra, Utsman bin Affan, Abu Hanifah dan lain sebagainya. Selain itu, banyak perempuan hebat, seperti Khadijah binti Khuwailid (istri Nabi) dan Qailah Umm Bani Ahmar.

Keduanya dikenal sebagai perempuan pengusaha yang sukses. Umm Salim binti Malhan bekerja sebagai penata rias. Zainab binti Jahsyi (istri Nabi) bekerja sebagai penyamak kulit dan hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin. Asy-Syifa` adalah perempuan pertama diserahi tugas oleh Khalifah Umar ibn al-Khattab sebagai manajer yang mengelola pasar Madinah. Bahkan, para sufi hebat di zaman-nya seperti Junaid al-Baghdadi mendapat julukan “al-qawariri” artinya penjual barang pecah belah dan Fariduddin al-Aththar digelari “al-Aththar” yang berarti si pemintal kapas atau penenun.

Keempat, para nabi yang diagung-agungkan agama Islam banyak yang berprofesi sebagai pengusaha. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam senantiasa menyebut profesi atau jenis pekerjaan para Nabi, misalnya Nabi Daud sebagai pandai besi, Nabi Musa sebagai pengembala, Nabi Sulaiman sebagai raja, Nabi Syuaib, Muhammad dan Ayyub sebagai pedagang, dan Nabi Yusuf sebagai perdana menteri.

Penyebutan tugas-tugas mereka di dalam al-Qur’an tersebut tentu ada alasan dan hikmah yang dapat dipelajari oleh umat Islam khususnya, salah satu hikmah tersebut adalah semangat untuk senantiasa bekerja dan berwirausaha agar mendapatkan kesejahteraan dan kesuksesan sebagaimana yang telah dipetik oleh nabi-nabi tersebut dalam hidupnya; sukses sebagai nabi di satu sisi dan di sisi lain sukses sebagai pekerja.

Lebih dari itu, semangat kehidupan Nabi Daud AS yang bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari pekerjaan atau hasil buah tanggannya menjadi salah satu hadis Nabi Muhammmad SAW dalam memotivasi umatnya. “Dari Miqdam r.a dari Rasulullah SAW ia bersabda, “Tidaklah seseorang makan-manakan yang lebih baik daripada makan hasil kerjanya sendiri dan sesungguhnya Nabi Daud a.s. makan dari hasil buah tangan (pekerjaan)-nya sendiri (HR. al-Bukhari).

Kelima, Islam adalah agama disebarkan ke seluruh dunia, setidaknya sampai abad ke-13 oleh para pedagang.

Menurut teori-teori masuknya Islam ke Indonesia seperti teori Gujarat (dipelopori oleh Snouck Hurgronje, Pijnappel, Sucipto Wiryo Suparto. J.P. Moquette S.Q. Fatimi, dan G.E. dan Marrison), teori Arab (didukung Hamka dan Ahmad Mansyur Suryanegara), teori Persia (didukung Oemar Amin Hoesin, Hoesein Djajaningrat), sampai teori Cina (di dukung Poortman) semuanya sepakat menyatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawah oleh para pedagang yang berasal dari Arab, Gujarat, Malabar, dan Persia. Hal ini dapat dipahami bahwa ada hubungan yang sangat erat antara Islam dengan dunia perdagangan, sehingga ketika sekarang entrepreneurship tidak menjadi pekerjaan utama umat Islam, maka ada masalah dari kita sendiri dalam memahami Islam dan sejarahnya, terutama di Indonesia.

Terakhir, Islam merupakan agama yang memiliki banyak julukan. Dari sekian banyak agama dan keyakinan, Islam satu-satunya agama yang paling banyak memiliki julukan. Pasalnya, apabila dikaitkan dengan pembicaraan bidang apa pun yang berhubungan dengan kehidupan manusia maupun kemanusiaan, Islam dipastikan memiliki ajaran yang terkait atau sekurang-kurangnya berkaitan dengan bidang yang bersangkutan.

Termasuk ketika Islam dihubungkan dengan dunia ekonomi dan keuangan (al-iqtishad wa al-maliyyah atau religion of finance), di samping sebegitu banyak julukan lain. Misalnya, Islam agama Ilmu (din al-ilm, religion of sciences), Islam agama akal pemikiran (din al-fikr, religion of philoshophy), Islam agama hukum (din al-hukm, religion of law), Islam agama kehidupan (din al-hayat, religion of life, Islam agama kematian (din al-maut, religion of dead) dan Islam agama kerja/usaha (din ‘amaliyyyun, religion of action) tatkala dikaitkan masing-masing dikaitkan dengan dunia ekonomi, dunia usaha/dan/atau dunia usaha ekonomi.

Julukan-julukan Islam di atas membuktikan bahwa Islam merupakan agama yang sangat dekat dengan dunia usaha, bahkan bekerja dalam Islam sama kedudukannya dengan jihad fi sabilillah dan Nabi bersabda; “Innallaha yuhibbul muhtarif” (Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan).

Dari berbagai penjelasan di atas, terlihat bahwa Islam sangat concern terhadap kewirausahaan dan sangat menganjurkan umat-nya untuk senantiasa bekerja keras, tidak bermalas-malasan agar dapat hidup mandiri, tanpa bergantung pada pemberian orang lain dan puncaknya menjadi seorang wirausahawan sejati, sebagaiman telah dilakukan sang “Uswatun Hasanah” Nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya. Waalahu A’lam bi al-Shawab. (*)

Penulis :

Havis Aravik

(Dosen Perbankan Syariah STEBIS IGM Palembang)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed