IGMTVnews.com —– Pengungkapan kasus mega korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di sejumlah anak usaha PT Pertamina berawal dari keluhan masyarakat di beberapa daerah yang mengeluhkan buruknya kualitas BBM Pertamina yang mereka beli di SPBU.
Konsumen mengeluhkan buruknya kualitas BBM Pertamax yang mereka beli dan menyebabkan kendaraan rusak.
Setelah mendapati banyak temuan tersebut di masyarakat, Kejaksaan Agung kemudian melakukan kajian mendalam.
“Kalau ingat beberapa peristiwa di Papua dan Palembang terkait dugaan kandungan minyak yang jelek. Ini kan pernah mendapatkan respons luas dari masyarakat kenapa kandungan Pertamax yang begitu jelek,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kaspuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Harli Siregar.
Kejaksaan Agung juga mendapati temuan lain bahwa pemerintah menganggarkan subsidi terkait BBM yang dirasa janggal yang ternyata akibat kelakuan para tersangka.
“Sampai pada akhirnya, ada liniernya atau keterkaitan antara hasil-hasil yang ditemukan di lapangan dengan kajian-kajian yang tadi terkait, misalnya mengapa harga BBM harus naik dan ternyata ada beban negara yang seharusnya tidak perlu,” ucapnya.
“Tapi, karena ada sindikasi oleh para tersangka ini, jadi negara harus mengemban beban kompensasi yang begitu besar,” lanjut Harli.
Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka dari kasus mega korupsi tersebut.
Mereka adalah:
Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan
Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin dan
Vice President (VP) Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono
Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi,
Beneficiary owner atau penerima manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Keery Andrianto Riza,
Komisaris PT Navigator Khatulistiwa berinisial DW
PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati, dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kaspuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Harli Siregar menyebut kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun dari kasus korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina Patra Niaga hanya hitungan untuk tahun 2023. Jika ditarik mundur ke belakang, menurut Harli jumlah kerugian negara pasti fantastis.
Menurut Harli, tempus delicti atau rentang waktu terjadinya tindak pidana korupsi itu antara 2018-2023, dan jumlah kerugian total negara belum dihitung. Bahkan, sambung Harli, kerugian negara untuk tahun 2023 baru hitungan sementara.
Dia menjelaskan hitungan kerugian negara tersebut meliputi beberapa komponen seperti rugi impor minyak, rugi impor BBM lewat broker, dan rugi akibat pemberian subsidi.
“Jadi kalau apa yang kita hitung dan kita sampaikan kemarin (Senin) itu sebesar Rp193,7 triliun, perhitungan sementara ya, tapi itu juga sudah komunikasi dengan ahli, terhadap lima komponen itu baru di tahun 2023,” katanya dikutip dari program Sapa Indonesia Malam di YouTube Kompas TV, Rabu (26/2/2025).
Harli mengungkapkan, jika dihitung secara kasar dengan perkiraan bahwa kerugian negara setiap tahun sebesar Rp193,7 triliun, maka total kerugian selama 2018-2023 mencapai Rp968,5 triliun. “Jadi, coba dibayangkan, ini kan tempus-nya 2018-2023. Kalau sekiranya dirata-rata di angka itu (Rp193,7 triliun) setiap tahun, bisa kita bayangkan kerugian negara sebesar itu,” katanya.
Harli menyebut pihaknya saat ini juga tengah fokus menghitung kerugian negara dari tahun 2018-2023 terkait kasus mega korupsi ini.(*)
Comment